Gelaran kirab budaya dalam rangka
peringatan Hari Jadi Kabupaten Batang ke-51 menyedot ribuan warga Batang dan
sekitarnya kamis, 27 April 2017. Mereka rela menanti di tepi jalan yang akan
dilalui pada kirab tersebut. dengan mengambil start dari lapangan Dracik, Jl.
Gajah Mada, Jl. Brigjen Katamso, menuju panggung kehormatan di Alun
- alun Batang dan finish di Jalan A Yani, peserta kirab menampilkan
berbagai kreatifitas seperti drum band SMK Nusantara , kuda lumping, Batang
Batik Carnival, kesenian musik tradisional marchingpring serta berbagai
kreatifitas yang ditampilkan oleh peserta. Pelaksanaan kirab berlangsung meriah
diikuti sekitar 100 peserta dari Kecamatan-Kecamatan yang ada di Batang,
Instansi Pemerintah, Pelajar dan instansi Swasta. Kirab ini juga di ikuti oleh Pj. Bupati Batang Siswo Laksono beserta Istri,
Bupati dan Wakil Bupati terpilih Wihaji dan Suyono, Sekda Batang Nasikin,
Komandan Kodim 0736 Batang Letkol. Inf. Fajar Ali Nugraha, Kapolres Batang AKBP
Juli Agung Pramono beserta istri dan Wakil Ketua DPRD. Sejumlah personel Polres
Batang, Kodim 0736 Batang dibantu Satpol PP mengamankan jalanya kirab tersebut.
Tujuan acara kirab ini yaitu untuk melestarikan budaya lokal dan masyarakat
bisa tahu mengenai budaya serta potensi yang ada di daerah Kabupaten Batang.
Simulasi Banjir dalam rangka Pencanangan Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional
Achmad Taufiq, S.P, M.Si Memberikan Sambutan Sekaligus Membuka Simulasi |
Palang Merah
Indonesia dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Batang menggelar
Simulasi Bencana Banjir di Desa Klidang Lor dan Kelurahan Karangasem Utara
Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Rabu 26 April 2017. Simulasi Dalam Rangka
Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional tersebut Diikuti Oleh 300 Peserta, Terdiri
Atas Korps Sukarela (Ksr) Pmi, Anggota Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (Sibat),
Masyarakat sekitar, Pelajar, unsur Tni/Polri, Pelajar dan Lembaga Terkait
Lainnya. Kegiatan ini mengangkat Tema “Siap Untuk Selamat” Membangun Kesadaran,
Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana.
“Kegiatan
Simulasi Bencana Banjir , Terkoneksi secara langsung dengan Program Pengurangan
Resiko Terpadu Berbasis Masyarakat (PERTAMA) Wilayah Pesisir Pmi Kabupaten
Batang Yang Bekerja Sama Dengan Palang Merah Amerika Serikat, Sehingga peran
Desa dan Kelurahan menjadi aktor utama sebagai pelaku simulasi. Dengan tujuan
Terciptanya Masyarakat Yang Siaga dan Tanggap pada Bencana yang Biasa terjadi di
Wilayah Simulasi,” Kata Acmad Taufik, Selaku Ketua PMI Kabupaten Batang,
Sekaligus membuka acara simulasi. Dalam Simulasi tersebut terdapat tim penilai
dan pemantau yang berasal dari PMI Pusat, American Red Cross (Amcross), PMI
Jateng, Kalangan SKPD serta Lembaga Lain. Setelah melaksanakan apel simulasi pun
dilaksanakan sesuai dengan Skenario yang ada, di awali dari adanya Peringatan
Dini menggunakan EWS ( Early Warning System ) kemudian dilanjutkan dengan
Evakuasi Mandirike rumah penduduk , Evakuasi Korban di Air, dan sebagainya.
Kegiatan Tersebut Mencangkup Beberapa Cluster yang semuanya saling bersinergi
mulai dari Culster Managemen Posko, Assesment, Evakuasi, Dapur Umum dan
Cluster-Cluster yang lainnya. Masyarakat
Desa sekitar lokasi yang yidak tahu pun terkejut dengan adanya simulasi tersebut,
padahal sudah ada pengumuman sebelumnya.
Code of Conduct & Safer Access
A.
Code of Conduct
Code of conduct atau kode perilaku adalah Etika dan
Aturan Main Antara Badan Kemanusiaan Internasional dalam Kegiatan Bantuan
Kemanusiaan. Merupakan
rumusan dari hasil Kesepakatan antara
7(tujuh) Badan Kemanusiaan Internasional yaitu : ICRC, IFRC, Caritas International,
International Save the Children, Lutheran World Federation, Oxfam dan World
Council of Churches. Kesepakatan tersebut berupa ketentuan dasar yang mengatur
standardisasi Perilaku Badan Kemanusiaan Internasional serta Pekerja
Kemanusiaan untuk menjamin Independensi dan Efektifitas dalam penyelenggaraan
kegiatan kemanusiaan
Agar penerapan menyeluruh dapat
diterapkan, maka Code of Conduct ini diadopsi oleh Federasi melalui General
Assembly and The Council of Delegates (Birmingham, 1993) dan International
Conference (Geneva, 1995);
Code of conduct terdiri
dari 10(sepuluh) Prinsip Dasar berkenaan dengan Humanitarian Relief Operation
serta 3(tiga) Annex yang mengatur hubungan antara Badan/Organisasi Kemanusiaan
dengan Pemerintah Setempat, Negara Donor dan Organisasi Antar Negara khususnya
pada saat bencana. Karena prinsipnya yang mengikat dan harus diterapkan secara
nyata oleh personel lembaga yang bersangkutan, maka bagi Federasi, tugas seorang anggota Delegasi Federasi jika
ditempatkan di suatu negara, maka ia harus mensosialisasikan Code of Conduct
ini kepada Perhimpunan Nasional dimana ia ditugaskan.
Adapun kesepuluh kode perilaku tersebut adalah :
1. Kewajiban
kemanusiaan adalah prioritas utama.
-
Pengakuan atas Hak Korban Bencana/Konflik yaitu – Hak
Untuk Memperoleh Bantuan Kemanusiaan – dimanapun ia berada
-
Komitment untuk menyediakan Bantuan Kemanusiaan kepada
korban bencana/konflik, diamanapun atau kapanpun ia diperlukan
-
Akses terhadap lokasi bencana/konflik dan terhadap korban
tidak dihalang-halangi
-
Dalam memberikan bantuan kemanusiaan tidak menjadi bagian
dari suatu kegiatan politik atau partisan
2.
Bantuan diberikan tanpa pertimbangan ras, kepercayaan
ataupun kebangsaan dari penerima bantuan atau pun perbedaan dalam bentuk apa
pun.
-
Bantuan kemanusiaan
diperhitungkan berdasarkan kebutuhan semata
-
Proportional
-
Mengakui peranan penting Kaum Wanita dan menjamin
bahwa peranan tersebut harus didukung dan didayagunakan
-
Terjaminnya akses terhadap sumber-sumber daya yang
diperlukan serta akses yang seimbang terhadap korban bencana/konflik
3.
Bantuan tidak boleh digunakan
untuk kepentingan politik dan agama.
-
Tidak mengikuti suatu pendirian
politik atau keagamaan tertentu
-
Bantuan diberikan kepada
Individu, Keluarga dan Kelompok Masyarakat yang memerlukan bantuan – tidak
tergantung/memandang pada predikat apa yang melekat pada penerima bantuan
4.
Tidak menjadi alat kebijakan
pemerintah luar negeri.
-
Badan Kemanusiaan Internasional
harus dapat menjamin Independensinya terhadap Negara Donor yang mempercayakan
penyaluran bantuannya;
-
Badan Kemanusiaan Internasional harus dapat
mengupayakan lebih dari satu sumber bantuan
5.
Menghormati kebiasaan dan adat
istiadat.
-
Tidak bertentangan dengan adat
istiadat setempat
6.
Membangun respon bencana sesuai
kemampuan setempat.
-
Memanfaatkan keberadaan LSM
serta tenaga lokal yang tersedia dalam implementasi kegiatan
-
Pengadaan komoditas bantuan
serta Jasa dari sumber-sumber setempat;
-
Mengutamakan koordinasi
7.
Melibatkan penerima bantuan
dalam proses manajemen bencana.
-
Mengupayakan partisipasi
masyarakat hingga pemanfaatan sumber-sumber daya masyarakat yang tersedia;
8.
Bantuan yang diberikan
hendaknya untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana di kemudian hari.
-
Bantuan kemanusiaan diberikan,
tidak semata-mata memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga diupayakan agar dapat mengurangi tingkat kerentanan
masyarakat (korban bencana/konflik) di masa depan
-
Memperhatikan kepentingan
lingkungan dalam merekayasa dan implementasi program-program
-
Menghindari sikap
ketergantungan yang berkepanjangan terhadap bantuan-bantuan eksternal
9.
Bertanggung-jawab kepada pihak
yang kita bantu dan yang memberi kita bantuan.
-
Bantuan kemanusiaan harus dapat
dipertanggungjawabkan, baik kepada mereka yang berhak menerimanya dan kepada
pihak Donor
-
Bantuan kemanusiaan harus
dikelola secara terbuka/transparansi, baik dari perspective Finansial maupun
Efektifitas kegiatan
-
Mengakui kewajiban Pelaporan
dan memastikan upaya monitoring telah dilakukan sebagaimana mestinya
10. Dalam kegiatan informasi, publikasi dan promosi, harus memandang korban
sebagai manusia yang bermartabat.
-
Mengakui martabat daripada korban bencana/konflik
-
Dalam publikasi, tidak hanya menonjolkan tingkat
penderitaan korban bencana, tetapi juga perlu menonjolkan upaya/kapasitas
masyarakat dalam mengatasi penderitaan mereka
-
Kerjasama dengan Media dalam rangka meningkatkan
perhatian dan kontribusi masyarakat – tidak didasarkan pada adanya tekanan,
vested interest atau publisitas baik dari lingkungan internal maupun eksternal
-
Dalam media coverage – diupayakan tidak menimbulkan
kesan persaingan dengan Badan Kemanusiaan lainnya
-
Tidak merusak
situasi/atmosphere ditempat dimana Badan Kemanusiaan itu bekerja, demikian pula
keamanan dari para Pekerjanya
B. Safer Access
Pada
saat konflik terjadi, kerawanan menjadi korban bagi mereka yang memberi bantuan
adalah sebuah hal yang sulit dihindarkan. Setiap saat pemberi bantuan dapat
turut menjadi korban pertikaian. Misalnya, disandera atau ditawan, terkena
peluru, senjata tajam hingga mortir secara tidak disengaja dan terbunuh.
Terkenanya pemberi bantuan menjadi korban, tentu akan berpengaruh bagi
kelancaran sampainya bantuan bagi yang membutuhkan. Untuk itu, pada saat
konflik atau perang terjadi, pemberi bantuan harus memperhatikan betul bagaimana
ia bisa selamat dan terhindar dari akibat yang membuatnya dapat turut menjadi
korban. Bagaimana memperoleh keamanan dan bagaimana tindakan aman yang harus
dilakukan oleh pemberi bantuan di situasi konflik inilah yang disebut dengan safer access. Intinya dapat disimpulkan
bahwa safer access adalah Kerangka kerja yang disusun agar pemberi bantuan
dapat memiliki AKSES YANG LEBIH BAIK terhadap populasi
yang terkena dampak konflik dan dapat BEKERJA LEBIH AMAN
dalam situasi konflik. Kerangka kerja tersebut terdiri dari pedoman bagi
organisasi dan individu agar lebih aman bekerja dalam situasi konflik.
Ada
tiga hal yang menjadi kerangka kerja tersebut yaitu :
1.
Keamanan pemberi bantuan (mis, PMI) dalam
konflik
Secara
umum, langkah-langkah keamanan disusun untuk: mencegah insiden, mengurangi
resiko dan membatasi kerusakan. Artinya, kalaupun insiden tidak dapat
dihindarkan (misalnya dtangkap oleh salah satu kelompok yang bertikai), paling
tidak, kita harus berupaya agar dalam insiden tersebut dapat berlaku tepat agar resiko lebih jauh
dapat terhindar. Termasuk tentunya, membatasi kerusakan lebih jauh terhadap
kendaran atau bangunan (terutama yang digunakan dalam operasi kemanusiaan) yang
ada.
Kunci
dari bagaimana dapat berlaku tepat, tentu sebelumnya harus mengerti dan
memahami bagaimana situasi konflik yang terjadi. Pemberi bantuan harus
mengetahui peta konflik dan peta situasi atau lokasi yang ada.
Misalnya, mengetahui siapa yang berkonflik, dimana lokasi-lokasi yang menjadi
basis pertahanan dan daerah konflik terbuka terjadi, dimana lokasi pengungsi,
mengetahui jalur atau akses jalur wilayah yang aman dan sebagainya.
2.
Dasar Hukum dan Kebijakan Gerakan
Andaikan
yang memberi bantuan pada saat konflik adalah PMI, maka anggota PMI selain
harus mengetahui tipe-tipe konflik maka harus mengetahui juga, apa dasar hukum yang dipakai oleh PMI untuk
bertindak dalam situasi konflik. Selain itu,
pemahaman akan hak, kewajiban dan keterbatasan PMI di saat konflik dan
aturan lain yang terkait dengan posisi sebagai anggota PMI dalam situasi
konflik juga menjadi sebuah hal yang harus diketahui. Selain itu, tentunya
relevansi penerapan dasar hukum internasional dan internasional bagi pemberian
bantuan merupakan pengetahuan dasar yang melekat.
Dasar Hukum Internasional meliputi :
A. Konvensi Jenewa (1949)
I. Melindungi anggota angkatan bersenjata
yang luka dan yang sakit dalam pertempuran di darat
II. Melindungi anggota angkatan bersenjata
yang luka, sakit dan mengalami kapal karam dalam pertempuran di laut
III. Melindungi para tawanan perang
IV. Melindungi penduduk sipil
B. Protokol Tambahan (1977)
I.
Protokol
I :
Memperkuat
perlindungan kepada para korban konflik bersenjata internasional
II.
Protokol
II:
Memperkuat
perlindungan kepada para korban konflik bersenjata non-internasional
III.
Protokol
III (2005)
Pengesahan
dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan
Dasar Hukum Nasional meliputi :
I.
UU No 59 tahun 1958 – keikutsertaan negara RI
dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949
II.
Keppres
RI no 25 tahun 1950 – pengesahan dan pengakuan Perhimpunan Nasional Palang
Merah Indonesia
III.
Keppres RI
no 246 tahun 1963 – tugas pokok dan kegiatan PMI
IV.
AD/ART Palang Merah Indonesia
V.
Garis-Garis
Kebijakan Palang Merah Indonesia
VI.
Protap
Tanggap Darurat Bencana PMI
3.
Tujuh Pilar
Adalah
“Pedoman/ acuan yang efektif untuk menciptakan kesadaran personal pemberi
bantuan pada semua tingkat tentang berbagai hal penting yang harus
dipertimbangkan pada saat akan memberikan perlindungan maupun bantuan bagi para
korban konflik”. Ketujuh pilar itu meliputi :
a.
Penerimaan terhadap Organisasi
Organisasi
bantuan kita harus ‘diterima’ oleh lingkungan dimana operasi kemanusiaan
dilakukan.
b.
Penerimaan terhadap Individu dan Tingkah Laku
Pribadi
Tingkah
laku pribadi dapat berpengaruh kepada penerimaan terhadap individu dan
berpengaruh pula pada penerimaan terhadap organisasi.
c.
Identifikasi
Tanda
pengenal bahwa kita menjadi anggota organisasi harus selalu melekat.
d.
Komunikasi Internal
Informasi
internal hendaknya mengalir cepat, tepat dan akurat. Cepatnya informasi dapat mengantisipasi kejadian yang tidak
diinginkan. Untuk itu penting adanya membuat perencanaan.
e.
Komunikasi Eksternal
Komunikasi atau informasi dengan pihak luar Gerakan secara terbuka tanpa
batas dapat membahayakan keamanan
kita, sebab dapat disalahgunakan untuk
propaganda atau dapat menimbulkan citra bahwa Gerakan adalah organisasi yang memihak. Untuk itu, individu pemberi bantuan tidak boleh
memberitahukan atau menyampaikan apapun selain hanya ‘apa yang dilakukan’ dan
bukan ‘apa yang dirasakan, dilihat, didengar’ dan sebagainya.
f.
Peraturan Keamanan
Peraturan harus ditandatangani oleh setiap anggota, Mempunyai suatu sistim untuk
memastikan terlaksananya peraturan tersebut dan Peraturan itu haruslah selalu diperbaharui
sesuai dengan perkembangan situasi.
g.
Tindakan Perlindungan
Memilih tindakan perlindungan
aktif atau pasif atau kombinasi keduanya dan adanya jaminan asuransi.
Referensi
1.
ICRC database (3.2.5.1 Conflict
environment)
2.
ICRC, Film “Mobile 121 Calling”, ICRC, Geneva
3.
PMI Statutes
4.
Roberts, David Lloyd, 1999, Staying Alive, ICRC, Geneva
Hukum Perikemanusiaan Internasional
A. Sejarah HPI
Salah
apabila kita mengatakan bahwa pendirian Palang Merah di tahun 1863 ataupun
pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 menandakan kelahiran hukum
perikemanusiaan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki
seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang tidak memiliki
aturan jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya
suatu permusuhan, serta bagaimana perang itu dilaksanakan.
Pada awalnya
ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang
sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral (kartel) yang
kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak
yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan berakhir. Ada pula peraturan
yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat “Kode Lieber”).
Hukum yang saat itu ada terbatas pada waktu dan tempat, karena hanya berlaku
pada satu pertempuran atau sengketa tertentu saja. Aturannya juga bervariasi,
tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.
Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan
yang kontemporer, lebih dari 500 kartel, aturan bertindak (code of
conduct), perjanjian dan tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk
mengatur tentang pertikaian telah dicatat. Termasuk di dalamnya Lieber Code,
yang mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena
menandakan percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang
yang ada. Namun, tidak seperti Kovensi Jenewa yang dibentuk setahun setelah
itu, Lieber Code ini tidak memiliki status perjanjian sebagaimana yang
dimaksudkannya karena hanya diberlakukan kepada tentara Union yang berperang pada
waktu Perang Saudara di Amerika.
Ada dua pria memegang peran penting dalam pembentukan HPI selanjutnya,
yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant
memformulasikan gagasan tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory
of Solferino), diterbitkan tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam
perang, General Dufour tanpa membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan
moralnya, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap usulan dari kelima anggota pendiri ICRC, Pemerintah Swiss
mengadakan Konferensi Diplomatik tahun
1864, yang dihadiri oleh 16 negara yang mengadopsi Konvensi Jenewa untuk
perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan
pertempuran darat.
Definisi
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum
Internasional Publik dan terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang
tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara
berperang di masa sengketa bersenjata.
Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan
hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata adalah semua
ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang
bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu
pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional; hukum tersebut
membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam
pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat peperangan, serta memberikan
perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena
dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan hanya boleh menyerang target militer, wajib menghormati
non-kombatan dan objek sipil dan menghindari penggunaan kekerasan yang
berlebihan. Istilah hukum perikemanusiaan internasional, hukum humaniter,
hukum sengketa bersenjata dan hukum perang dapat dikatakan sama
pengertiannya. Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara
cenderung menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum
humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa
digunakan oleh angkatan bersenjata. Palang Merah
Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional.
Hukum Jenewa dan Hukum Den
Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) – dikenal
juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum perang – memiliki dua
cabang yang terpisah:
> Hukum
Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk
melindungi personil militer yang tidak lagi terlibat dalam peperangan dan mereka
yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
> Hukum Den
Haag, atau hukum perang, adalah hukum yang menentukan hak dan kewajiban
pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi cara
penyerangan.
Kedua cabang
HPI ini tidaklah benar-benar terpisah, karena efek beberapa aturan dalam hukum
Den Haag adalah melindungi korban sengketa, sementara efek dari beberapa aturan
hukum Jenewa adalah membatasi tindakan yang diambil oleh pihak yang bertikai di
masa perperangan. Dengan mengadopsi Protokol Tambahan 1977 yang
mengkombinasikan kedua cabang HPI, pembedaan di atas kini tinggal memiliki
nilai sejarah dan pendidikan.
Prinsip
Hukum
perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan
non-kombatan serta antara objek sipil dan objek militer. Prinsip necessity
atau kepentingan kemanusiaan dan militer, perlunya menjaga keseimbangan
antara kepentingan kemanusiaan di satu pihak dengan kebutuhan militer dan
keamanan di pihak lain. Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary
suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih cara dan alat
untuk berperang tidaklah tak terbatas, dan para pihak tidak diperbolehkan
mengakibatkan penderitaan dan kehancuran secara melampaui batas serta tidak seimbang dengan tujuan yang hendak
dicapai, yaitu melemahkan atau menghancurkan potensi militer lawan. Prinsip
proporsionalitas, mencoba untuk
menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda, kepentingan yang
berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan militer, dan yang lainnya berdasarkan
tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.
Aturan Dasar
ICRC telah
memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian
internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah
perangkat hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan
perjanjian-perjanjian yang berlaku.
1. Orang
yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut memperoleh penghormatan atas hidupnya,
atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus
dilidungi dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa
pun.
2. Dilarang
untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.
3. Mereka
yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak bertikai yang menguasai mereka.
Personil medis, sarana medis, transportasi medis dan peralatan medis harus
dilindungi. Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih
adalah tanda perlindungan
atas personil dan objek tersebut di atas, dan harus dihormati.
4. Kombatan
dan penduduk sipil yang
berada di bawah penguasaan pihak lawan berhak untuk memperoleh penghormatan atas
hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya.
Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam.
Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.
5. Setiap
orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab
atas suatu tindakan yang tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan
sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam yang
merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.
6. Tidak
satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak tak terbatas untuk
memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk menggunakan alat dan cara
berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak
perlu.
7.
Pihak bertikai harus selalu membedakan
antara penduduk sipil dan kombatan dalam rangka melindungi penduduk sipil
dan hak milik mereka. Penduduk sipil, baik secara keseluruhan maupun
perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan
semata-mata kepada objek militer.
Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum
perikemanusiaan modern. Karakter utamanya adalah:
>
aturan tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban sengketa;
> sifatnya
multilateral, terbuka untuk semua negara;
>
adanya kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil
militer yang terluka dan sakit;
>
penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan
perlengkapannya menggunakan sebuah lambang (palang merah di atas dasar putih).
Diawali dengan
Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum perikemanusiaan modern berkembang
dalam berbagai tahap, seringkali setelah sebuah kejadian di mana konvensi
tersebut dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang
terus berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam persenjataan serta
jenis-jenis sengketa.
Perang Dunia I
(1914-1918) menyaksikan penggunaan cara perang yang, (kalau tidak dapat dikatakan
baru) dilakukan dalam skala yang tidak dikenal sebelumnya. Termasuk di dalamnya
gas beracun, pemboman dari udara, dan penangkapan ratusan tawanan perang. Perjanjian
di tahun 1925 dan 1929 merupakan tanggapan dari perkembangan ini.
Perang Dunia II
(1939-1945) menyaksikan penduduk sipil dan personil militer tewas dalam jumlah
yang seimbang, berbeda dengan saat Perang Dunia I, di mana perbandingannya
adalah 1:10. Tahun 1949 masyarakat internasional bereaksi terhadap angka yang
tragis tersebut, terlebih lagi terhadap efek buruk yang menimpa penduduk sipil,
dengan merevisi Konvensi yang saat itu sedang berlaku dan mengadopsi perangkat
hukum lain: Konvensi Jenewa ke-4 tentang perlindungan terhadap penduduk
sipil. Belakangan di tahun 1977, Protokol Tambahan merupakan tanggapan
atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur
sebagian di dalam Konvensi 1949.
Keempat
Konvensi Jenewa menegaskan
penghormatan yang harus diberikan kepada setiap pribadi pada masa sengketa
bersenjata. Keempat Konvensi tersebut adalah:
I Perbaikan
keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran
darat
II Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata
di laut yang luka, sakit dan korban karam
III Perlakuan tawanan perang
IV Perlindungan
penduduk sipil di waktu perang
Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan
nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949. Dua protokol
tambahan diadopsi, yang menguatkan perlindungan terhadap korban sengketa
internasional (protokol I) dan sengketa non-internasional (protokol II). Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977 terdiri hampir 600 pasal dan merupakan perangkat utama hukum
perikemanusiaan internasional. Hanya sebuah negara yang dapat menjadi peserta perjanjian internasional,
begitu pula untuk menjadi peserta Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir
semua negara di dunia – 190 tepatnya – menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta
bahwa perjanjian ini merupakan salah satu yang diterima di sejumlah besar
negara membuktikan kesemestaannya. Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157
negara menjadi peserta Protokol I dan 150 peserta Protokol II.
HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia
internasional (selanjutnya disebut hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya
bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi dan
cara yang berbeda. HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata,
sedangkan hukum HAM atau setidaknya sebagian daripadanya, melindungi
individu di setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI
adalah melindungi korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang
diakibatkan oleh perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi individu
dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian utama HPI adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh
ke tangan pihak lawan dan mengenai metode peperangan, sedangkan hukum HAM pada
intinya mencegah perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan negara
atas individu. Hukum HAM tidak bertujuan
untuk mengatur bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan
penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah
bentuk pengawasan terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme itu memberi
penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa dengan penengah
yang netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran. Sebagai konsekwensinya,
pendekatan ICRC yang perannya menjamin penghormatan terhadap HPI memberikan
prioritas pada persuasi.
Mekanisme untuk memonitor hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak
kasus, lembaga yang berwenang dituntut untuk menentukan apakan sebuah negara
telah menghormati hukum. Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian
pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa telah
dilanggar oleh penguasa negara. Penguasa ini selanjutnya wajib untuk mengambil
langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi internal itu sesuai dengan
persyaratan yang diminta oleh Konvensi. Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya
bermaksud untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi.
Referensi
1.
Direktorat
Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949,
Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2.
International Committee of the
Red Cross, 1994, Handbook of the
International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC & Federation,
Geneva.
3.
International Committee of the
Red Cross,1999, Pengantar Hukum Humaniter,
ICRC, Jakarta.
4.
International
Committee of the Red Cross, 2002, International
Humanitarian Law, Answer to Your Question, ICRC, Geneva.
5.
ICRC, Film ‘Fighting by the Rules’ ,
ICRC, Geneva
Subscribe to:
Posts (Atom)